Sabtu, 24 September 2016

SERIAL 7HABITS( 7 Kebiasaan 5 : Berusaha Memahami Dahulu Orang Lain, Baru Kita Bisa Dipahami Orang Lain )

Setiap manusia memiliki suatu keinginan terpendam di lubuk hatinya yang terdalam agar bisa dimengerti oleh setiap orang. Rasa ingin dimengerti ini menyangkut seluruh tindakan dan pemikiran yang dimilikinya. Setiap orang memiliki persepsi masing-masing terhadap dunia, sehingga setiap orang akan memiliki perbedaan pemikiran yang kadang tidak bisa dimengerti oleh orang lain.

Dalam memahami perasaan orang lain, kita perlu menjadi seorang pendengar yang baik. Akan tetapi, seringkali kita tidak mendengarkan dengan baik. Ada lima gaya mendengarkan yang buruk, antara lain :

1.        Mengawang-awang, gaya mendengarkan dimana seseorang yang sedang terlibat pembicaraan melamun (mengawang-awang) sehingga tidak mendengarkan sama sekali apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya.

2.        Pura-pura mendengarkan, gaya seorang pendengar yang hampir tidak mengacuhkan apa yang dikatakan lawan bicaranya dan membalas dengan tidak peduli.

3.        Mendengarkan secara selektif, gaya seseorang yang hanya mendengarkan apa yang ingin dia dengarkan dan menanggapi hanya bagian apa yang dia perhatikan tersebut.

4.        Mendengarkan kata per kata, yaitu gaya mendengarkan seseorang tepat seperti apa yang lawan bicaranya katakan, tanpa memperhatikan bahasa tubuh atau nada perasaan yang sebenarnya mempunyai arti berbeda.

5.        Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri, yaitu gaya mendengarkan dengan menuruti keinginan sendiri dan tidak berusaha memahami apa yang ingin disampaikan lawan bicara. Gaya ini seringkali malah menimbulkan perasaan yang tidak nyaman kepada lawan bicara. Gaya bicara ini biasanya ditandai dengan beberapa sikap, yaitu menghakimi secara sepihak, menasihati dan menggali tentang keadaan lawan bicara. Hal ini sudah jelas sangat tidak menyenangkan bagi lawan bicara.

Apabila kita menunjukkan sikap seperti di atas, dijamin orang yang berbicara dengan kita akan merasa tidak diperhatikan. Teknik mendengarkan yang baik adalah dengan mendengarkan dengan tulus, antara lain :

1.        Dengarkan dengan telinga, mata dan hati. Seseorang dalam menyampaikan sesuatu sesungguhnya tidak hanya lewat kata-kata. Kita hanya dapat menangkap sekitar 4% maksud seseorang melalui kata-kata. Akan tetapi kita dapat memahami sebanyak 40% dari nada perasaannya bahkan sebanyak 53% dari memperhatikan bahasa tubuhnya. Oleh karena itu, untuk memahami orang lain dengan lebih baik, pahamilah percakapan melalui telinga, mata dan hati kita.

2.        Selami perasaan mereka. Setiap dari kita memandang dunia melalui kacamata yang berbeda. Apabila kamu memakai kacamata berwarna biru dan temanmu memakai kacamata berwarna merah, pasti dia akan mengatakan bahwa air danau itu berwarna merah. Begitu pula sebaliknya kamu pasti akan mengatakan bahwa air danau berwarna biru sesuai dengan kacamatamu. Begitulah keadaan kita. Untuk memahami orang lain, kita perlu menyamakan warna kacamata kita seperti miliknya. Dengan mencoba memahami sudut pandang mereka, kita pasti akan tahu pemikiran seperti apa yang dimilikinya dan akhirnya kita akan memahami orang lain lebih baik.

3.        Bersikap seperti cermin. Ini adalah cara yang mengulangi kata-kata yang diucapkan orang dengan kata-kata kita sendiri. Cara ini akan menyebabkan lawan bicara kita merasa diperhatikan saat berbicara, sehingga dia akan membuka diri kepada kita. bersikap seperti cermin bukan mengulang kata-kata persis seperti apa yang diucapkan orang lain, akan tetapi mengulang dengan kata-kata kita sendiri sesuai dengan apa yang kita tangkap.
Contoh percakapan :

“Kamu tidak boleh keluar malam ini dengan teman-temanmu”, kata Ayah.

Apabila kamu bersikap biasa, mungkin kamu akan mengatakan, “Ayah tidak adil, padahal aku sudah mengikuti keinginan Ayah selama ini”, atau kata-kata lain. Di saat inilah kita perlu bersikap seperti cermin, ulangi kata-katanya dengan kata-katamu.

“Ayah sedang kesal ya?”

“Tentu saja Ayah kesal. Nilai-nilaimu menurun selama semester ini, padahal Ayah selalu memenuhi apapun permintaanmu.”

“Ayah mengkhawatirkan aku ya?”

“Iya lah, Ayah tidak mau kamu gagal masuk Universitas. Jangan seperti Ayah yang tidak bisa sekolah sehingga harus bersusah payah mencari uang seperti sekarang"

“Ayah sangat memperhatikan masa depanku ya,?”

“Tentu saja. Kamu juga seharusnya memperhatikannya lebih baik. Sepertinya tidak apa-apa kalau kamu keluar malam ini, asalkan kamu berjanji nilai-nilaimu akan naik kembali.

Mungkin tidak sesederhana itu, tetapi biasanya begitu. Dengan berlaku seperti cermin, lawan bicara akan merasa dihargai dan diperhatikan, sehingga dia akan merasa tidak terlalu buruk apabila membiarkan kita melakukan apa yang kita inginkan.

Bersikap seperti cermin tidak harus dilakukan setiap saat, karena akan menghabiskan waktu kita. Sebaiknya sikap ini dilakukan apabila kita sedang benar-benar akan mendengarkan perasaan lawan bicara kita yang menghadapi masalah berat. Sikap ini tidak diperlukan apabila hanya percakapn ringan atau percakapan sehari-hari.

Dengan memahami perasaan lawan bicara kita, orang tersebut secara tidak sadar akan membuka hatinya untuk mendengarkan apa yang akan kita katakan. Apabila lawan bicara belum merasa dipahami, akan sulit baginya membuka diri dan menerima apa yang akan kita katakan. Dengan memahami lawan bicara terlebih dahulu, kita akan mendapatkan kepercayaan yang lebih dari orang tersebut.

Hanya berusaha memahami orang lain baru setengah dari kebiasaan 5 ini. Setengah selanjutnya adalah Berusaha Untuk Dipahami. Diperlukan keberanian untuk berbicara di depan umum, akan tetapi diperlukan keberanian yang lebih besar untuk berbicara secara umum. Apabila kita sudah bisa memahami lawan bicara kita, tentu kita ingin agar apa yang kita katakan bisa didengarkan oleh orang lain. Akan tetapi ada 2 syarat agar perkataan kita bisa dipahami oleh orang lain. Yang pertama adalah apakah perkataan kita dapat memberikan manfaat bagi dan feedback bagi lawan bicara kita. Sedangkan yang kedua adalah sampaikan dari sudut pandang “saya”, bukan malah mengatakan “kamu”, sehingga akan memberikan gambaran bahwa apa yang kita katakan berasal dari pikiran kita dan tidak semata-mata menghakimi lawan bicara kita.

Disadur dari : Buku  7 Habits from Stephen Covey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar