UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah digulirkan satu tahun
yang lalu, yaitu tepatnya pada 15 Januari 2014. Undang-undang Desa (UU Desa)
ini lahir sebagai respons nyata dari pemerintah terhadap realita kesenjangan
pembangunan yang terjadi selama ini antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal
yang tidak kita jumpai pada negara-negara maju karena mereka telah mampu
membuat tingkat kenyamanan hidup di pedesaan sama dengan di perkotaan. Di
negara maju( Eropa dan Amerika ), harga tanah dan rumah di wilayah pedesaan
lebih tinggi dari harga tanah dan rumah di wilayah kota karena wilayah pedesaan
memberikan kenyamanan istimewa berupa udara yang bersih, lahan hijau yang luas,
dan tidak adanya kebisingan.
Menurut UU Desa Pasal 79, pemerintah desa harus menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 tahun dan
Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) yang merupakan jabaran RPJMDes tahunan.
Selanjutnya dalam Pasal 80 dijelaskan bahwa prioritas kegiatan pembangunan desa
meliputi:
(1)
peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar,
(2)
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan
teknis dan sumber daya lokal yang tersedia,
(3)
pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif,
(4)
pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi dan
(5)
peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa.
Masalah besar yang perlu kita ketahui adalah misalnya bagaimana teknik
pelaksanaan UU Desa ini. Kita akan dihadapkan kepada dua fenomena, yaitu
peluang (opportunity) percepatan pembangunan wilayah pedesaan yang akan
memberikan dampak positif pada pengurangan angka rawan kemiskinan dan
kemiskinan, ataukah ancaman (threat) rusaknya intelektualitas dan moralitas
masyarakat desa yang masih murni disertai dengan tidak efektifnya pelaksanaan
pembangunan tersebut.
Pemerintah Desa diharapkan menjadi lembaga yang mewujudkan program
pembangunan dengan pola bottom up ini. Prosesi pembangunan yang diharapkan
adalah dengan melalui tahapan perencanaan yang baik dan matang sehingga UU Desa
mengamanatkan tentang kewajiban menyusun dokumen RPJMDes sebagai syarat
pencairan dana desa tersebut. Namun mengingat keterbatasan sumber daya desa
maka pemerintah perlu meningkatkan kapasitas perangkat desa melalui pelatihan
penyusunan RPJMDes secara intensif yang kemudian implementasinya dilakukan
dengan memakai pola pendampingan oleh pakar atau konsultan ahli.
Pola pendampingan masyarakat oleh pihak ketiga dapat melibatkan
perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sehingga pemerintah desa
dan masyarakatnya memiliki kapasitas untuk penyusunan RPJMDes mereka. Proses
pendampingan diharapkan menjadi penguatan terhadap program pemerintah untuk
mempersiapkan kemampuan pemerintah desa.Pola pendampingan untuk penyusunan RPJM
dimana hal positif yang dapat diambil dari proses ini adalah terjadinya proses
pembelajaran dan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam
merumuskan dokumen RPJMD mereka. Pola komersiil dalam penyiapan dokumen RPJM
atau dokumen lainnya perlu segera kita tinggalkan karena hal tersebut membawa
dampak negatif pada terhambatnya proses pembangunan yang partisipatif dan
terjadinya pembangunan yang fiktif.
Prinsip Sinergitas
Penyusunan sebuah dokumen RPJM bukanlah hal yang mudah. Namun petunjuk penyusunannya yang telah diuraikan dengan rinci dalam Peraturan Mendagri No.54 Tahun 2010 dapat dirujuk, sekalipun urusan pembangunan desa kemudian dilimpahkan di bawah koordinasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Rakyat menanti dengan pasti adanya kesatuan visi misi dari Pemerintah dalam menjalankan pembangunan, sehingga antardepartemen dilahirkan prinsip sinergisitas, yaitu saling mendukung untuk tercapainya tujuan pembangunan memakmurkan bangsa. Urutan proses pendampingan dapat pula dilakukan dengan merujuk kepada buku Panduan Pendampingan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Pola pendampingan ini masyarakat dapat berperan sebagai staf ahli
ataupun motivator dan fasilitator bagi sebuah desa, sehingga rapat musyawarah
desa bersama BPD ( Badan Permusyawaratan Desa ) dapat menghasilkan suatu dokumen
RPJMDes yang berkualitas berbasis data dan kebutuhan masyarakat setempat. Untuk
keberlanjutan proses pembangunan desa, pengawasan dan evaluasi pembangunan
sangat penting dilakukan untuk melihat efesiensi dan efektifitas capaian pembangunan.
Kegagalan kita pada tahap pengawasan dan evaluasi pembangunan desa akan
bermuara pada fenomena rusaknya intelektual dan moralitas mental masyarakat
kita.
Oleh karena itu, pada tahap awal, pola pendampingan sangat
dibutuhkan dalam mewujudkan pengawasan dan evaluasi ini. Keberadaan Badan
Permusyawaratan Desa (BPM) memang berfungsi untuk mengawasi kinerja Kepala
desa. Namun demikian akuntabilitas dalam pelaksanaan pembangunan perlu juga
mendapatkan pengawasan dan bimbingan dari para fasilitator yang dapat datang
dari berbagai unsur seperti Perguruan Tinggi, Fasilitator, Karang Taruna Desa
dan LSM.
Penetapan regulasi terkait pelaksanaan
pembangunan desa, sosialisasi dan implementasi regulasi menjadi peran
pemerintah selanjutnya. Yang sangat urgen adalah peran ulama dan tokoh
masyarakat untuk mengintegrasikan nilai-nilai positif dalam pembangunan yang
transparan dan amanah. Hal ini merupakan potensi besar bagi suksesnya
pembangunan desa. Hanya dengan partisipasi aktif berbagai pihak, program
pembangunan desa yang dicanangkan oleh pemerintah dapat berjalan dengan sukses.
Semoga!Dan sukses untuk desa kita.Sumber : Undang-Undang No 6 Tahun 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar