Senin, 21 Desember 2015

MARI, KITA KAWAL PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG DESA DAN PERSIAPAN KITA




UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah digulirkan satu tahun yang lalu, yaitu tepatnya pada 15 Januari 2014. Undang-undang Desa (UU Desa) ini lahir sebagai respons nyata dari pemerintah terhadap realita kesenjangan pembangunan yang terjadi selama ini antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal yang tidak kita jumpai pada negara-negara maju karena mereka telah mampu membuat tingkat kenyamanan hidup di pedesaan sama dengan di perkotaan. Di negara maju( Eropa dan Amerika ), harga tanah dan rumah di wilayah pedesaan lebih tinggi dari harga tanah dan rumah di wilayah kota karena wilayah pedesaan memberikan kenyamanan istimewa berupa udara yang bersih, lahan hijau yang luas, dan tidak adanya kebisingan.

Menurut UU Desa Pasal 79, pemerintah desa harus menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) yang merupakan jabaran RPJMDes tahunan. Selanjutnya dalam Pasal 80 dijelaskan bahwa prioritas kegiatan pembangunan desa meliputi:
(1) peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar,
(2) pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia,
(3) pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif,
(4) pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi dan
(5) peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa.
Masalah besar yang perlu kita ketahui adalah misalnya bagaimana teknik pelaksanaan UU Desa ini. Kita akan dihadapkan kepada dua fenomena, yaitu peluang (opportunity) percepatan pembangunan wilayah pedesaan yang akan memberikan dampak positif pada pengurangan angka rawan kemiskinan dan kemiskinan, ataukah ancaman (threat) rusaknya intelektualitas dan moralitas masyarakat desa yang masih murni disertai dengan tidak efektifnya pelaksanaan pembangunan tersebut.

Pemerintah Desa diharapkan menjadi lembaga yang mewujudkan program pembangunan dengan pola bottom up ini. Prosesi pembangunan yang diharapkan adalah dengan melalui tahapan perencanaan yang baik dan matang sehingga UU Desa mengamanatkan tentang kewajiban menyusun dokumen RPJMDes sebagai syarat pencairan dana desa tersebut. Namun mengingat keterbatasan sumber daya desa maka pemerintah perlu meningkatkan kapasitas perangkat desa melalui pelatihan penyusunan RPJMDes secara intensif yang kemudian implementasinya dilakukan dengan memakai pola pendampingan oleh pakar atau konsultan ahli.
Pola pendampingan masyarakat oleh pihak ketiga dapat melibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sehingga pemerintah desa dan masyarakatnya memiliki kapasitas untuk penyusunan RPJMDes mereka. Proses pendampingan diharapkan menjadi penguatan terhadap program pemerintah untuk mempersiapkan kemampuan pemerintah desa.Pola pendampingan untuk penyusunan RPJM dimana hal positif yang dapat diambil dari proses ini adalah terjadinya proses pembelajaran dan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam merumuskan dokumen RPJMD mereka. Pola komersiil dalam penyiapan dokumen RPJM atau dokumen lainnya perlu segera kita tinggalkan karena hal tersebut membawa dampak negatif pada terhambatnya proses pembangunan yang partisipatif dan terjadinya pembangunan yang fiktif.

Prinsip Sinergitas
Penyusunan sebuah dokumen RPJM bukanlah hal yang mudah. Namun petunjuk penyusunannya yang telah diuraikan dengan rinci dalam Peraturan Mendagri No.54 Tahun 2010 dapat dirujuk, sekalipun urusan pembangunan desa kemudian dilimpahkan di bawah koordinasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Rakyat menanti dengan pasti adanya kesatuan visi misi dari Pemerintah dalam menjalankan pembangunan, sehingga antardepartemen dilahirkan prinsip sinergisitas, yaitu saling mendukung untuk tercapainya tujuan pembangunan memakmurkan bangsa. Urutan proses pendampingan dapat pula dilakukan dengan merujuk kepada buku Panduan Pendampingan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Pola pendampingan ini masyarakat dapat berperan sebagai staf ahli ataupun motivator dan fasilitator bagi sebuah desa, sehingga rapat musyawarah desa bersama BPD ( Badan Permusyawaratan Desa ) dapat menghasilkan suatu dokumen RPJMDes yang berkualitas berbasis data dan kebutuhan masyarakat setempat. Untuk keberlanjutan proses pembangunan desa, pengawasan dan evaluasi pembangunan sangat penting dilakukan untuk melihat efesiensi dan efektifitas capaian pembangunan. Kegagalan kita pada tahap pengawasan dan evaluasi pembangunan desa akan bermuara pada fenomena rusaknya intelektual dan moralitas mental masyarakat kita.

Oleh karena itu, pada tahap awal, pola pendampingan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan pengawasan dan evaluasi ini. Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPM) memang berfungsi untuk mengawasi kinerja Kepala desa. Namun demikian akuntabilitas dalam pelaksanaan pembangunan perlu juga mendapatkan pengawasan dan bimbingan dari para fasilitator yang dapat datang dari berbagai unsur seperti Perguruan Tinggi, Fasilitator, Karang Taruna Desa dan LSM.
Penetapan regulasi terkait pelaksanaan pembangunan desa, sosialisasi dan implementasi regulasi menjadi peran pemerintah selanjutnya. Yang sangat urgen adalah peran ulama dan tokoh masyarakat untuk mengintegrasikan nilai-nilai positif dalam pembangunan yang transparan dan amanah. Hal ini merupakan potensi besar bagi suksesnya pembangunan desa. Hanya dengan partisipasi aktif berbagai pihak, program pembangunan desa yang dicanangkan oleh pemerintah dapat berjalan dengan sukses. Semoga!Dan sukses untuk desa kita.

Sumber : Undang-Undang No 6 Tahun 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar