Sebuah Jajak pendapat mengenai kampanye dari Media Kompas cukup menarik. Jajak pendapat ini berusaha menangkap pendapat massa-rakyat mengenai model dan efektifitas kampanye politik. Jajak pendapat ini dilakukan untuk melihat kinstelasi pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota di Indonesia.
Disebutkan, mayoritas responden (65,88%) menganggap dialog langsung dengan rakyat sebagai kampanye paling efektif. Artinya, rakyat lebih tertarik jika kandidat turun langsung ke bawah. Dengan begitu, rakyat bisa bertatap muka dengan kandidat dan terjadi proses dialog.
Bentuk kampanye itu, seperti inj dilakukan para calon pada putaran pertama pilkada lalu, telah memangkas jarak antara kandidat dan rakyat. Karenanya, metode turun ke bawah (turba) dianggap unggul ketimbang iklan di media massa (9,3%), jejaring sosial (8,2%), pemasangan alat peraga seperti spanduk, baliho, dan poster (5,4%), dan rapat akbar/pengerahan massa/konvoi (2,8%).
Rakyat merasa kehidupannya makin berjarak dengan elit. Sehingga, ketika musim kampanye datang, rakyat tidak serta-merta mau terseret oleh kampanye politik dari kaum elit. Sebaliknya, pemimpin yang rela terjun ke tengah-tengah rakyat, yang dengan senang hati melebur dengan rakyat, sangat dimimpikan.
Jajak pendapat Kompas juga menyebutkan, model kampanye berbentuk debat politik, dengan mempertarungkan semua kandidat, juga cukup efektif. Tentu saja, debat politik itu harus bernuansa pertarungan gagasan dan program. Bukan mengedepankan mobilisasi masa saat berdebat. Dengan begitu, massa rakyat punya kesempatan untuk melihat kapasitas masing-masing kandidat.
Artinya, ada kecenderungan massa-rakyat, untuk mulai melihat program kerja ketimbang jargon-jargon politik. Rakyat sudah sangat muak dengan jargon-jargon belaka. Ini bisa dilihat pula pada hasil jajak pendapat Kompas: mayoritas responden (77,9%) mengaku melirik kesamaan program sebagai dasar pertimbangan dalam memilih.
Alhasil, kampanye yang tidak mendidik alias kontraproduktif, seperti kampanye berbau Suku, Agama, dan Ras (SARA), mulai ditinggalkan massa. Model kampanye semacam ini terkesan “menghalalkan segala macam cara” untuk meraih kekuasaan. Bahkan, kampanye reaksioner ini cenderung menjadi tameng untuk menutupi kekurangan besar kandidat bersangkutan.
Sayangnya, partai politik masih mengandalkan figur ketimbang program. Selain itu, ketiadaan basis pemilih yang permanen memaksa partai politik menggunakan politik uang sebagai sarana mendulang suara. Alhasil, partai politik pun perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
Dalam menjelang Pilkada juga diperlihatkan bagaimana model-model kampanye yang kreatif, seperti tarian (dance) modern, jingle, games, dan lain-lain, cukup menarik minat mereka dari sektor-sektor yang selama ini bersikap apatis. Terutama sekali anak muda dan kelompok klas menengah yang alergi terhadap politik.
Sayangnya, belum semua partai politik menyadari hal ini. Kebanyakan parpol masih mengandalkan “pasukan nasi bungkus dan pasukan amplop” ketimbang barisan ideologis. Lebih suka membeli suara dengan uang ketimbang propaganda program. Ironisnya, parpol masih lebih percaya gaya “pencitraan” ketimbang pembangunan basis konstituen yang bersifat permanen.
Apa yang ditemukan Kompas dengan jajak pendapatnya, terlepas dari seberapa besar akurasinya, patut dijadikan “lonceng peringatan” oleh parpol. Sebab, jika tidak, tak menutup kemungkinan parpol akan makin ditinggalkan rakyat. Sekarang saja gejala itu sudah terlihat: menguatnya sikap apatisme terhadap politik dan partai politik.
Kedepan, parpol harus segera berbenah. Kaderisasi dan pendidikan politik terbuka mesti digalakkan. Kegiatan partai politik di tengah rakyat, sekalipun tidak ada momentum pemilu, perlu diperbanyak. Berbagai bentuk propaganda berisikan program dan gagasan-gagasan politik, baik berbentuk cetak maupun audio-visual, juga harus dimassalkan.
Di level politik, sudah saatnya parpol punya basis ideologi yang jelas. Dengan demikian, parpol pun akan bertindak sesuai dengan garis politik dan pijakan ideologi yang jelas. Jangan lagi mandat rakyat diombang-ambingkan oleh koalisi-koalisi parpol yang sangat pragmatis: kalau oposisi ya bertindaklah sebagai oposisi. Jangan berpura-pura beroposisi untuk sekedar minta jatah kekuasaan.
Mari kita jaga kondisi damai menjelang kampanye di kota kita. Jangan kotori lingkungan kita dg media kampanye. Dan tentunya jaga rasa persatuan dan persaudaraan.
SALAM DAMAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar